Masyarakat Jepang telah lama dikenal memiliki kedisiplinan yang tinggi dan tata krama yang baik. Kebiasaan tersebut tidak terbentuk secara instan. Melainkan melalui pendidikan khusus yang diterapkan sejak usia dini.
Pakar pendidikan Jepang, Katsujiro Ueno mengatakan agar anak suka membaca, maka orang tua dan guru harus memberi contoh untuk membiasakan diri membaca buku. Ueno yang juga Sekjen Persahabatan Indonesia-Jepang ini menuturkan agar anak suka membaca di rumah, harus disediakan meja belajar dan lemari buku untuk anak. Selain itu, katanya, ajak anak pergi ke perpustakaan dan orang tua perlu memuji kebiasaan anak membaca buku.
Ia menyampaikan tahapan perkembangan anak usia dini di Jepang, yakni usia 3 tahun anak mampu menghitung angka sampai 10, mampu membaca huruf hiragana (50 bunyi) dan membiasakan duduk di meja belajar. Di usia 4 tahun mampu menulis angka 1-10, bisa hitung 30, mampu menulis nama diri sendiri, dan mampu memegang pensil dengan benar. Kemudian pada usia 5 tahun anak mengenal dasar hitung penambahan dan pengurangan, menguasai menulis hiragana dan katakana serta belajar membaca jam.
Ia mengatakan anak kelas 4 SD di Jepang mempunyai kewajiban menulis pengalaman hidup singkat selama 10 tahun sejak lahir ditulis dengan tangan. Kemudian dianjurkan oleh guru untuk menuliskan impiannya untuk 10 tahun kemudian, artinya pada usia 20 tahun saat memasuki usia dewasa nantinya. Contoh ingin menjadi perawat hewan, jadi mereka sudah mulai membaca buku yang ada kaitannya dengan hewan atau apa yang berkaitan dengan impiannya tersebut.
Dengan adanya metode pendidikan tersebut, terdapat sejumlah poin unik yang patut dicermati. Yuk, tengok!
- Memprioritaskan pembentukan moral, bukan hanya skill
Berbeda dengan kebanyakan taman kanak-kanak di tanah air, sekolah usia dini di Jepang tidak mewajibkan membaca dan menulis. Anak-anak terlebih dahulu dilatih moralnya sekaligus dikembangkan rasa tanggung jawabnya. Mereka banyak diajarkan mengenai seni, dongeng, cerita, menyanyi, dan tentu saja bermain permainan tradisional. Tidak ada sistem tidak naik kelas. Mereka tidak perlu berkompetisi dalam hal akademik di usia yang masih belia - Meningkatkan kreativitas anak
Anak-anak di sana lebih banyak menggambar, bernyanyi, serta kegiatan lain yang menumbuhkan kreativitas. Tidak heran, dinding sekolah biasanya dipenuhi karya-karya yang mereka buat sendiri. Anak-anak juga kerap diajak tur untuk melatih kepekaan mereka terhadap lingkungan sekitar, misalnya ke taman bermain, museum, atau kebun binatang - Guru bukan sekadar guru
Di sekolah, guru atau sensei tidak berperan sebagai orang yang memberikan materi. Mereka mesti berposisi sebagai orang dewasa yang mengarahkan anak-anak. Banyak memberikan semangat, selalu ceria, lincah, serta menjadi teman sepermainan. Hampir tidak ada guru yang mengenakan pakaian formal. Justru mereka memakai baju olahraga demi memudahkan gerak saat mengawasi peserta didiknya - Kualitas sekolah sama di semua wilayah
Pemerintah Jepang membuat kebijakan agar setiap anak bersekolah tidak jauh dari lokasi tempat tinggalnya. Menariknya, tidak ada sekolah favorit di Jepang. Setiap sekolah memiliki kualitas yang sama. Orang tua tidak perlu khawatir dan bisa melatih kemandirian anak untuk bisa pulang atau pergi ke sekolah sendiri - Pendidikan sudah dimulai sejak di rumah
Pendidikan tidak melulu tentang sekolah. Bahkan pendidikan justru harus dimulai dari keluarga. Itulah yang dilakukan para ibu di Jepang. Sejak balita, anak-anak sudah dilatih untuk makan dengan tangan sendiri. Para ibu akan memasak hidangan berbentuk lucu yang membangkitkan ketertarikan anak. Ukurannya pun kecil agar mereka mudah mengambilnya dengan sumpit. Bila sudah terbiasa, perlahan mereka akan diajari memasak. Banyak kegiatan dilakukan demi melatih kemandirian, termasuk merapikan tempat tidur di pagi hari dan membereskan mainan.
sumber : flickr/Nagano Toyokazu (gambar), gaya.tempo, idntimes (info)