Tak dipungkiri bahwa Jepang merupakan salah satu negara yang banyak dikagumi. Selain karena kemajuan teknologinya, perilaku penduduk Jepang juga dinilai sangat baik. Anak-anak Jepang dikenal patuh, berperilaku baik, sopan, juga penuh perhatian. Ternyata metode membesarkan anak-anak di Jepang sangat menakjubkan.
Keluarga Jepang menumbuhkan kelekatan, empati, dan harmoni. Para orangtua yakin bahwa anak-anak mereka akan mempelajari perilaku yang sesuai dengan teladan yang mereka berikan. Banyak orang bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana pola asuh yang diterapkan orangtua di Jepang pada anak-anaknya?
Orangtua di Jepang mengurangi kecenderungan individualis anak muda melalui kedekatan yang ekstrem. Disana, setiap anak memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibunya, bahkan sampai tidur bersama hingga usia 6 tahun.
Selama tiga tahun pertama kehidupan seorang anak, sang ibu membawa mereka ke mana saja bersamanya. Seorang ibu benar-benar mencurahkan waktunya untuk anak. Tidak ada anak yang dititipkan ke tempat penitipan anak atau prasekolah sebelum usia tiga tahun. Bisa dibilang jalinan hubungan ibu dan anak sangat emosional. Ibu akan menerima apa yang dilakukan anak mereka dan menganggap anak adalah sosok yang sempurna.
Sebelum seorang anak menginjak usia 5 tahun, mereka akan diizinkan untuk melakukan apapun yang diinginkan. Tak bermaksud memanjakan, tujuannya adalah agar anak mengetahui dengan jelas mana hal baik dan buruk untuk dilakukan. Di Jepang, sikap ini dikenal sebagai “Amae” dimana anak bergantung pada orangtua sebagai poin penting agar hubungan ini berlanjut hingga anak tumbuh dewasa.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan Amerika dan Jepang membuktikan adanya korelasi erat antara pola asuh orangtua menentukan perilaku anak kelak. Jika orangtua menunjukkan perilaku yang positif maka anak akan berperilaku serupa hingga dewasa. Berdasarkan prinsip ini, ada beberapa komponen mengasuh anak ala Jepang yang mendasar, yaitu :
Orangtua Adalah Panutan
Sejak kecil, orangtua akan berusaha untuk melakukan segalanya yang terbaik untuk menjadi panutan bagi anak. Sebagai contoh, ibu di Jepang akan membangun piramida dari mainan dan meminta anak-anaknya mengulangi bentuk piramida tersebut dari awal. Jika anak gagal membangunnya, mereka harus mulai membangun piramida lagi dari awal.
Para ibu di Jepang tak hanya menyuruh anak melakukan apa yang orangtua minta. Namun, mereka akan memberi contoh dan menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu.
Kekuatan Saran
Para ibu di Jepang menggunakan ajakan, saran, serta ejekan atau sindiran halus untuk mendisiplinkan anak. Mereka menghindari konfrontasi langsung dengan anaknya. Hal ini meminimalkan sikap menantang atau agresif dari anak.
Para ibu di Jepang menggunakan saran untuk memberi tahu anak-anak apa yang harus mereka lakukan. Alih-alih mengatakan “Ambil mainanmu!”, mereka justru mengatakan “Apa yang harus kamu lakukan dengan mainanmu sekarang?”. Anak harus memberikan jawaban yang benar dan mematuhinya. Jika anak tersebut tidak mau melakukannya bahkan berpura-pura tidak mendengar pertanyaan atau saran, sang ibu akan menggunakan ejekan yang halus. Biasanya, anak lebih memilih untuk patuh daripada merasa malu dengan sindiran halus sang ibu.
Kekuatan Gerak Tubuh
Anak-anak di Jepang sangat terikat dengan ibu mereka sehingga mereka peka terhadap emosi dan gerak tubuh sang ibu. Ketika ibu menyarankan sesuatu, anak juga akan melihat ekspresi di wajah sang ibu. Jika mereka tidak patuh, mereka akan mendapati ekspresi terkejut dan kekecewaan di wajah orang yang disayanginya. Namun, ibu tidak menghukum anak itu atau langsung memarahinya. Hanya dengan ekspresi saja, anak akan kembali patuh. Karena anak disana benar-benar menjaga keharmonisan dengan sang ibu, mereka menghindari konfrontasi dan melakukan apa yang ibunya harapkan.
Ibu-ibu di Jepang juga belajar membaca suasana hati anak-anak mereka. Jika mereka melihat bahwa anak mereka tidak berminat mematuhi permintaan, mereka tidak akan membuat permintaan pada saat itu juga, namun nanti. Mayoritas orangtua di Jepang melakukan apa pun untuk membuat anak-anak mereka merasa dicintai, dihargai, serta dihormati.
Orangtua juga mengajarkan agar anak memahami dan menghargai perasaan orang lain, sekalipun itu benda mati. Misalnya, jika seorang anak mencoba merusak mobil mainan mereka, ibu akan berkata, “Mobil itu akan menangis jika kau merusaknya”. Di samping itu, para orangtua di Jepang juga senang menceritakan cerita rakyat yang terkenal di Jepang agar anaknya bisa menghargai lingkungan.
Semoga cara mendidik anak ala Jepang ini bisa menjadi inspirasi bagi para orangtua, kakak, ataupun saudara dalam mengasuh anak.
sumber : belitung.tribunnews, id.theasianparent