Mungkin mina-san pernah mendengar atau membaca cerita yang berkaitan dengan sebuah legenda yang sangat fenomenal di Jepang. Mungkin juga di seluruh dunia sudah tahu tentang hal ini. Tradisi melipat seribu bangau dari kertas atau lebih dikenal dengan nama “Senbazuru”. Di Jepang, tradisi melipat seribu bangau kertas ini sudah menjadi suatu kepercayaan. Kebanyakan orang Indonesia mungkin lebih sering mengenalnya dengan istilah burung kertas karena memiliki sayap dan paruh, cara membuatnya yang mudah dan sangat sering dibuat ketika sedang bosan menjadikan senbazuru semakin populer dan tak lekang oleh waktu.
Seni melipat kertas atau kain berbentuk persegi empat yang berasal dari Jepang ini dikenal dengan nama origami. Tradisi melipat seribu origami menjadi berbentuk bangau sudah dikenal lama dalam tradisi rakyat Jepang.
Ketika seseorang ingin permohonannya terkabul, ia harus melipat seribu kertas menjadi berbentuk bangau (tsuru), lalu merangkainya dengan seutas benang. Rangkaian seribu bangau kertas itu kemudian digantung di rumah dengan harapan satu permohonan yang diucapkannya akan terkabul. Ternyata, ada cerita menarik lainnya di balik filosofi seribu bangau kertas ini.
Dalam masyarakat Jepang, bangau dikenal sebagai makhluk suci yang dapat hidup hingga ribuan tahun. Karena itulah, salah satu permohonan yang kerap mereka ucapkan adalah agar diberi umur panjang dan kesembuhan dari penyakit yang diderita.
Alasan lainnya yang menjadikan bangau sebagai simbol karena rakyat Jepang mengenal burung bangau sebagai hewan yang sangat setia pada pasangannya. Karena itu pula rakyat Jepang menjadikan bangau sebagai lambang cinta dan kesetiaan. Selain dipercaya sebagai jimat keberuntungan, melipat seribu bangau kerta ini pun kerap dihubungkan dengan kebahagiaan dan kemakmuran.
Menariknya, legenda seribu bangau kertas ini pun tidak hanya dikenal oleh masyarakat Jepang saja, bahkan sampai mendunia. Hal ini berkaitan dengan kisah yang menimpa seorang gadis Jepang bernama Sadako Sasaki yang meninggal dunia karena penyakit leukemia yang dideritanya. Penyakit yang ia derita akibat dari pancaran radiasi ledakan bom Hiroshima saat perang Dunia II. Saat itu Sadako masih berusia dua tahun.
Selama menjalani perawatan dan pengobatan di rumah sakit itulah Sadako berusaha melipat seribu bangau kertas dengan harapan memperoleh kesembuhan. Sayang, harapannya tidak terwujud. Sadako meninggal pada usia dua belas tahun. Untuk mengenangnya, dibuatlah patung Sadako dengan burung bangau emas di tangannya dan dipajang di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima. Sebagai bentuk dedikasi kepadanya, rakyat Jepang pun menetapkan tanggal 6 Agustus sebagai Hari Perdamaian.
Dalam versi pertama dari cerita Sadako ini, ia tidak berhasil menyelesaikan seribu bangau kertasnya karena ajal keburu menjemputnya. Hanya 644 bangau kertas saja yang mampu ia selesaikan, tetapi teman-temannyalah yang membantu menyelesaikannya hingga genap seribu. Namun, versi yang lain mengatakan bahwa Sadako berhasil melipat seribu bangau kertas itu hingga genap seribu.
Apa pun filosofi yang terkandung dalam cerita ini, selalu ada nilai kebaikan di dalamnya. Tentang harapan, perjuangan, dan keteguhan hati untuk mencapainya. Setiap tempat pasti memiliki tradisinya masing-masing. Yang pasti, apa pun permohonan dan harapan kalian, Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buat kalian.
sumber : idntimes, kompasiana