Budaya Tepat Waktu di Jepang

ikuzoLifestyleLeave a Comment

Ayo, siapa yang sering terlambat sampai di sekolah?

Kadang-kadang, kita bisa terlambat kalau bangun kesiangan, jarak ke sekolah yang jauh, kendala transportasi, sampai terjebak kemacetan.

Di Jepang, tepat waktu adalah patokan sopan santun, dan telah ditanamkan sejak kecil. Bukan rahasia lagi, Jepang dikenal sebagai negara dengan tingkat disiplin warganya yang tinggi. Karakter masyarakat Jepang yang sangat mengagungkan ketepatan waktu adalah hal menyenangkan untuk dibahas bagi masyarakat dunia, dan dianggap sebagai sebuah kebudayaan bangsa Jepang itu sendiri.

Propaganda “Waktu adalah uang” dan nasionalisme, yang salah satunya mengharuskan tepat waktu dalam rangka menghormati orang lain juga membentuk masyarakat Jepang disiplin terhadap waktu. Warga Jepang adalah orang yang sangat menghargai waktu, sehingga terlambat sedikit saja bisa menjadi masalah besar di negara ini.

Tidak hanya tokoh publik, layanan publik, pegawai perkantoran, dan institusi-institusi di Jepang yang bahkan sangat mencela jika mengalami keterlambatan, atau ketidaktepatan waktu. Pada Mei 2018, perusahaan kereta api di Jepang JR-Railways meminta maaf karena tiba 25 detik lebih awal dari yang dijadwalkan, dan karenanya seorang penumpang ketinggalan kereta.

Bicara soal waktu, orang Indonesia dianggap piawai dalam hal “mengaret-ngaretkannya“. Tetapi bangsa Jepang pun pernah mengalami hal itu. Mereka menganggap terlambat dan menyuruh orang lain menunggu adalah hal biasa. Namun, mereka berhasil mengubah watak “ngaret“-nya menjadi tepat waktu. Seperti dipaparkan oleh Susy Ong dalam bukunya berjudul Seikatsu Kaizen, pada masa lalu kebiasaan tentang waktu Jepang sama dengan jam Indonesia yaitu “ngaret“. Datang tepat waktu pada sebuah acara merupakan hal yang langka di Jepang kala itu.

Awal pendisiplinan Jepang ini terjadi ketika Jepang mulai berinteraksi dengan negara-negara barat. Susy menuliskan setelah sekian lama menutup diri dari dunia asing, pada tahun 1871-1873, para petinggi Pemerintahan Jepang memutuskan melakukan kunjungan ke negara-negara barat seperti Amerika Serikat, dan 11 negara di Eropa.

Dipimpin oleh negarawan Iwakura Tomomi, rombongan itu mengunjungi pabrik, sekolah, pelabuhan, kantor pemerintahan, dan bertemu para pemimpin negara. Delegasi Jepang tersebut tercengang oleh kedisiplinan masyarakat barat. Kesimpulan dari misi Iwakura ini adalah Jepang masih sangat tertinggal dalam industri dan kualitas SDM. Oleh sebab itu Jepang harus mencontoh negara barat jika ingin maju.

Merespon kunjungan tersebut, pemerintah Jepang bekerja sama dengan masyarakat kelas menengah mereka melaksanakan serangkaian kampanye nasional. Tujuannya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Jepang. Dari malas, santai, tidak disiplin, teledor, apatis, dan boros menjadi rajin, hemat, disiplin, teliti, dan antusias untuk maju.

Restorasi Meiji adalah era yang mengubah segala-galanya di Jepang kala itu. Dalam periode ini lah masyarakat Jepang mulai mengembangkan budaya tepat waktu. Pada era ini diterapkan beberapa hal seperti sistem pendidikan, penanaman moral, dan program pemerintah membentuk masyarakat Jepang untuk disiplin dalam waktu. Era Meiji mengakhiri kejayaan samurai di Jepang dan banyak samurai (militer pada jaman itu) beralih profesi menjadi guru karena sistem shogun (sistem feodal dimana tuan tanah yang mempekerjakan samurai memegang kendali) telah dilarang. Arahan dari Menteri Pendidikan Jepang mengharuskan siswa datang 10 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya, dan jika tidak mereka akan menerima hukuman atas keterlambatan dari guru mereka. Hal tersebut membantu mengajarkan ketepatan waktu pada generasi baru.

Pada November 1919, Kementerian Pendidikan Jepang kemudian mengkampanyekan reformasi pola hidup dengan menggelar pameran Life Improvement di Museum Pendidikan Tokyo. Pameran itu menampilkan poster dan foto-foto mengenai pola hidup yang efisien mencakup segi sandang, pangan, dan papan. Pameran tersebut mendapat sambutan luar biasa dari warga Tokyo. Akhirnya dibentuklah Better Life Union, perkumpulan hidup yang lebih baik dengan agenda antara lain tepat waktu, tata krama, buang kebiasaan gengsi, hilangkan tingkah laku menggangu kesehatan dan kebersihan umum, serta menabung.

Pada 1920-an, ketepatan waktu dilembagakan dalam berbagai propaganda negara. Langkah nyata lainnya ditempuh dengan membentuk opini publik mengenai pentingnya reformasi pola hidup. Surat kabar, buku, majalah-majalah didorong untuk membangun kesadaran publik soal kedisplinan. Berbagai poster soal ketepatan dan penghematan waktu disebar. Misalnya bagaimana cara perempuan menata rambut dalam lima menit jika tak ada acara khusus.

Sejak 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye nasional untuk meningkatkan moral publik yaitu mengajak rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan standar masyarakat beradab. Berkat ikhtiar konsisten ini, masyarakat Jepang memetik hasilnya. Mereka sekarang menjadi rujukan dalam ketepatan waktu.

Keberhasilan Jepang dalam mereformasi pola hidup seperti tepat waktu karena peran Pemerintah dan kelas menengah yang bersama-sama mengkampanyekan hal tersebut. Imbauan-imbauan tentang kedisplinan disebar ke seluruh penjuru negara hingga ke pelosok-pelosok, misalnya, poster-poster yang menyindir kebiasaan telat sebagai hal yang memalukan. Hal tersebut dilakukan secara konsisten.

Jadi lama kelamaan orang makin sadar dengan konsekuensi ketepatan waktu. Namun, tidak sekadar mengimbau, tetapi juga ada penghargaan yang diberikan. Karena sudah tertanam sejak masa sekolah, hal tersebut terbawa hingga dunia kerja. Perusahaan atau instansi pemerintah akan memberikan penghargaan bagi pegawainya yang kerap tepat waktu. Untuk mendapatkan reputasi buruk di Jepang cukup mudah, tinggal datang terlambat. Rekor terlambat pada siswa Jepang juga menjadi catatan buruk yang memengaruhi penilaian universitas. Hukuman sosial turun temurun semacam itu, telah berhasil melanggengkan penanaman ketepatan waktu bagi masyarakat Jepang di era modern.

Ketepatan waktu dihubungkan dengan orang lain. Yaitu, kalau ada yang terlambat, maka akan merugikan yang menunggu. Wah, bagian yang ini bisa kita contoh, mina-san, supaya kita tidak membuat teman-teman atau guru kita menunggu jika kita terlambat!

sumber : tirto, bobo.grid, gaya.tempo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *