Dibalik semua filosofi Jepang yang menuntut kesempurnaan, ada sebuah sikap yang mendasari masyarakat Jepang untuk bersikap lebih tenang dan damai di tengah keadaan yang tidak sempurna, ‘”wabi sabi“.
Filosofi wabi sabi mengajarkan masyarakat Jepang untuk bersikap menerima dan menghargai bahwa di dunia ini, segala sesuatunya memiliki kekurangan, cacat, dan bahkan mengalami perubahan seiring waktu berjalan. Tak hanya berupa penerimaan, wabi sabi lebih kepada sikap melihat keindahan dari hal yang sudah rusak atau tidak sempurna. Alasannya karena keindahan ditentukan oleh sudut pandang, konteks, atau keadaan tertentu. Sesuatu bisa dikatakan sempurna jika ia turut menampilkan ketidaksempurnaan.
Ada tiga realitas sederhana dalam wabi sabi bahwa di dunia ini ada sesuatu yang tidak bertahan, tidak selesai, dan tidak sempurna. Ketiga realitas ini menuntun masyarakat Jepang untuk menerima bahwa kekurangan, ketidaksempurnaan, dan ketidakkekalan adalah bagian dari hidup yang tidak boleh disangkal.
Penerapan wabi sabi dalam sehari-hari akan tercermin dalam sikap mensyukuri kekurangan dan apapun yang kita miliki, menghargai diri kita apa adanya dengan menerima semua kekurangan, tidak senewen melihat kerusakan pada benda yang kita miliki, bahkan mampu bersikap tenang di tengah kegagalan sekalipun. Wabi-sabi pada akhirnya membuka ruang untuk rasa cinta kita kepada orang lain.
Wabi-sabi bisa menjadi cara baru melihat dunia dan tempat seseorang di dalamnya. Konsep ini dinilai mampu membuat hidup berjalan lebih lambat. Wabi-sabi juga mendorong orang melepaskan penilaian negatif dan usaha tak berkesudahan demi mengejar kesempurnaan.
Membawa wabi sabi ke dalam kehidupan tidak perlu uang, pelatihan, atau keterampilan khusus. Hanya dibutuhkan pikiran tenang yang bisa menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan, keberanian yang tidak takut pada kebodohan, serta kesediaan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya.
sumber : tirto, nationalgeographic